Sabtu, 10 Januari 2009

Part 2

Pada suatu kesempatan, saya diminta ibu saya untuk mengantar beliau ke rumah keluarga besan di pinggiran kota Sleman. Beliau bermaksud bersilaturrahim ke rumah mertua kakak perempuan saya. Selain ingin menjalin komunikasi dengan besan, ibu sekaligus ingin melihat kakak. Mungkin ibu kangen pada kakak. Kondisi ibu sejak kakak menikah memang sedikit membuat haru. Beliau nampak kehilangan. Selama ini memang kakak adalah yang paling dekat dengan ibu. Mungkin karena kakak adalah anak perempuan terakhir dan dia sudah biasa berbagi cerita dengan ibu. Kakak memang tidak seperti saya yang sukar berbagi cerita. Lagi pula topik pembicaraan yang kami minati biasanya memang berbeda.
Setelah ibu melepas rindu dengan kakak, terlihat beliau agak lega. Sebelum waktu sholat ashar tiba, saya mengajak ibu pulang dengan harapan sudah sampai rumah sebelum maghrib. Perjalanan pulang ke Klaten memang memakan waktu cukup lama karena jarak yang jauh. Dalam perjalanan nanti, saya bermaksud menunaikan sholat ashar di Masjid Al Mubarok. Masjid favorit saya ketika kuliah di prodip satu STAN Jogja. Letak Masjid Al Mubarok sangat dekat dengan kos saya. Saya bisa sedikit nostalgia sambil menengok adik-adik kos. Perkiraan saya tidak meleset. Saya sampai di Masjid Al Mubarok sesaat sebelum adzan sholat ashar berkumandang. Saya dan ibu bisa melepas lelah sejenak sebelum sholat ashar.

Beberapa menit setelah itu, seorang adik kos yang kukenal keluar dari kos untuk mengumandangkan adzan. Kami saling menyapa, memberi salam, lalu ngobrol sejenak. Aku pun segera mengambil air wudhu sementara dia mengumandangkan adzan. Saat menunggu iqamat, bermunculanlah teman-teman kampus adik kosku. Mereka juga bermaksud menunaikan sholat ashar berjama’ah. Salah satu dari mereka adalah seorang akhawat bermukena putih. Aku mengetahui keberadaannya karena melihat bayangannya saat memasuki pintu samping masjid. Keberadaannya makin jelas karena tidak ada hijab pemisah di masjid itu. Salah satu kekurangan Masjid Al Mubarak. Tapi aku sekedar tahu keberadaannya dan tidak mau melihat wajah akhawat itu. Lagi pula kenapa saya harus memperdulikan itu ?

Iqamat dikumandangkan, shalat ashar pun ditunaikan. Suasana Masjid Al Mubarak yang sepi dan sejuk memang sangat mendukung suasana khusyuk dalam sholat. Tenang dan tentram hati ini ketika bisa menunaikan sholat fardhu secara berjama’ah di masjid. Setelah sholat ashar dan berdzikir sejenak, aku pun keluar dari masjid untuk melanjutkan perbincangan dengan adik-adik kos. Mereka senang sekali mendapat kunjunganku. Aku kuwalahan menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka tentang kondisiku dan teman-teman angkatanju setelah lulus. Agak lama kami ngobrol, tapi ibu belum juga keluar dari masjid. Mungkin beliau merapikan mukena lalu merebahkan kaki sejenak. Akhirnya beliau keluar juga. Aku lalu segera berpamitan pada adik-adik kosku yang masih ngobrol di teras masjid.

Ibu segera kuajak mendekati sepeda motor agar perjalan pulang segera bisa dilanjutkan. Ketika ibu mendekati sepeda motorku, tanpa terduga beliau mengatakan suatu yang luar biasa bagi saya.

Ibu berkata, “Baik sekali anak perempuan tadi.”

Saya hampir tidak percaya pada apa yang saya dengar. Baru kali ini ibu mengungkapkan kekagumannya pada seseorang wanita di hadapanku.

“Siapa Bu?”, tanyaku penasaran.

“Tadi yang sholat di sampingku.”, jawab ibu.

“Yang mana Bu ? Adik kelasku tadi ?”, tanyaku antusias.

“Yang mana lagi. Perempuan yang tadi sholat cuma aku sama dia.”, jawab ibu.

Beliau kemudian balik bertanya kepadaku, “Anak perempuan tadi adik kelasmu ?”.

“Mungkin. Yang biasa sholat di sini cuma anak kampus STAN.”, jawabku yakin.

“Baik gimana sih Bu?”, tanyaku penasaran.

“Dia tadi setelah sholat mencium tanganku. Padahal tidak saling kenal. Senang saja melihat anak perempuan seperti itu.”, jawab ibu dengan kagum.

“O… begitu. Cantik tidak anaknya ?”, tanyaku iseng.

“Cantik. Kulitnya putih.”, jawab ibu singkat.

“Mau punya mantu seperti itu ?”, tanyaku menggoda.

“Boleh.”, jawab ibu.

“Hore……..”, sorakku dalam hati. Akhirnya aku menemukan kriteria yang lebih logis dari ibu. Seketika dunia menjadi penuh cahaya. Aku seperti penambang yang baru saja menemukan gunung emas.

“Tapi kamu baru boleh nikah enam tahun lagi.”, sambung ibu.

“Haaaa….?!”, seketika gunung emas dipandangan mataku lenyap entah kemana. Keringat kekecewaan menetes di dahiku. Tapi tidaklah mengapa. Masalah umur masih bisa diperjuangkan. Setidaknya kini saya telah menemukan jalan lain ke hati ibu. Ibu menyukai wanita yang bisa menghargai keberadaannya


4 komentar:

  1. hahaha,,,ini toh part 2nya, part 3 nya apa ya?

    BalasHapus
  2. ya, sangat manusiawi...
    Setiap orang akan sangat mengharapkan bisa dihargai keberadaannya.
    apalagi ibu...

    BalasHapus
  3. ini adalah tulisan salah satu teman saya, sudah lama sekali, iseng di repost ulang disini.silahkan menikmati part 2

    BalasHapus
  4. Kirain pengalaman pribadi...
    ternyata...

    BalasHapus