Sabtu, 10 Januari 2009

Part 3 (selesai)

Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja saya menemukan program acara yang bagus di Women Radio. Sebuah acara dialog keluarga yang disiarkan di malam hari. Kira-kira pukul sepuluh malam saya menemukan acara itu saat bermaksud berpindah gelombang. Topik pembahasan yang saya dengar adalah tentang ‘mertua dan menantu’. Banyak sekali responden yang telpon saat itu. Tentu kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu. Biasanya pertanyaan yang diajukan oleh pendengar adalah tentang masalah perilaku mertua. Kebanyakan penanya meminta solusi agar mertua tidak cerewet, rewel, atau mencampuri urusan keluarga anaknya. “Kenapa sih perempuan susah rukun ?”, tanyaku dalam batin. Mendengar curhatan ibu-ibu di radio itu saya jadi teringat perkataan Jackie Chan di sebuah film kung fu. Dua harimau jantan tidak bisa tinggal di satu gunung yang sama. Mungkin saya sedang menemukan persamaan antara harimau jantan dengan wanita. Mereka sejenis tapi sukar untuk berdamai.
Saya menjadi pendengar yang baik saat itu walau mata terasa kantuk. Topik yang menarik terlalu sayang jika dilewatkan. Mendekati penghujung acara seorang pendengar menelpon. Penelpon itu mengaku sebagai wanita berumur tujuh puluhan tahun. Dengan suara seraknya dia berusaha mematahkan keluhan para penelpon sebelumya. Pada sang penyiar radio dia menceritakan kisah hidupnya. Ternyata dia adalah ibu dengan delapan anak laki-laki. Kedelapan anak laki-lakinya itu telah membina keluarga. Karena tempat penghidupan yang jauh, tidak satu pun dari anaknya itu bisa tinggal bersamanya. Kini, diusianya yang sudah senja, dia hanya tinggal seorang diri di daerah Bogor. Apakah dia merasa jengkel pada anak-anaknya ? Apakah dia tidak ridho pada para menantunya yang mengambil alih semua anak laki-lakinya ? Apakah dia menyesal telah membesarkan anak-anaknya dengan susah payah ? Ternyata tidak. Tidak ada rasa jengkel, tidak ridho, atau menyesal.

Wanita itu mengatakan, “Saya sama sekali tidak merasa kesal pada menantu-menatu saya itu. Asal melihat keluarga anak saya rukun, saya sudah sangat bahagia.”.

Saya terpana dengan kemuliaan hati wanita tua di radio ini. Begitukah hati seorang ibu ?

Lebih lanjut sang ibu tua ini bercerita. “Saya sangat sayang pada menantu-menantu saya. Walaupun mereka tidak bisa tinggal merawat saya setiap hari, tapi saya merasakan perhatian yang luar biasa dari mereka. Mereka sering menelpon saya untuk sekedar menanyakan kabar atau kesehatan saya. Jika mereka mengirimkan uang untuk saya, mereka justru selalu minta maaf karena merasa uang yang mereka kirimkan cuma sedikit. Mereka merasa nilai uang itu sangat kecil jika dibandingkan dengan jasa-jasa saya. Padahal uang yang mereka kirimkan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan saya. Yang membuat saya lebih bahagia adalah ketika mereka berkunjung ke rumah. Saya melihat cucu-cucu saya mereka rawat dengan baik. Saya sungguh sangat menyanyangi menantu-menantu saya itu. Tidak pernah saya marah kepada salah satu dari mereka. Justru yang saya rasakan, perhatian dan kepedulian mereka lebih besar dari pada anak-anak saya sendiri.”

Sebelum menutup telponnya, wanita tadi berpesan. “Tolong para menantu, jangan menganggap mertua itu sebagai sebuah ancaman. Mereka itu telah merelakan anak-anak yang mereka rawat sejak kecil untuk kamu miliki. Jika mertua anda membuat jengkel, cobalah instropeksi diri. Jangan-jangan kalian kurang memperhatikan dan mempedulikannya kehidupannya. Jangan-jangan kalian telah menyisihkan mereka dari anak-anaknya. Tidak mungkin ada mertua di dunia ini yang ingin keluarga anaknya berantakan dan tidak bahagia.”

Sungguh curahan hati yang mencerahkan. Dari perkataan ibu tua di radio itu, akhirnya saya bisa menerjemahkan keinginan ibu yang sebenarnya. Ibu menginginkan menantu dokter bukan berarti saya harus mencari istri seorang dokter. Permintaan ibu itu adalah bahasa hati seorang wanita yang telah dengan susah payah membesarkan anak. Ketika bahasa hati harus diungkapkan dengan bahasa yang verbal maka yang kudengar adalah kata ‘dokter’. Yang diinginkan ibu sesungguhnya adalah wanita yang bisa memperlakukannya sebagaimana kakak sepupuku yang seorang dokter itu memperlakukan ibu. Ibu menginginkan perhatian, kepedulian, penghormatan, kasih sayang, dan kedekatan emosional dari menantunya. Itulah yang menyebabkan ibu mengagumi adik kelasku yang beliau temui di Masjid Al Mubarak. Sebagian dari apa yang ibu inginkan beliau temukan dalam diri anak itu. Ibu menginginkan seorang menantu yang mau mencium tangannya. Ibu ingin merasa beruntung seperti wanita tua yang menelpon di Women Radio malam itu.

Akhirnya aku mengerti keinginan ibu yang sebenarnya. Setelah mengetahui keinginan ibu, apa yang harus saya lakukan ? Apa saya harus mencari tahu siapa adik kelas yang mencium tangan ibu saat itu ? Logikaku ternyata berkata ‘tidak’. Jika ada banyak akhawat yang bisa melakukan itu, kenapa harus membatasi diri pada satu pilihan yang belum tentu bisa ditemukan. Andai pun saya menemukannya, tidak ada jaminan anak itu bersedia menjadi istri saya. Pessimist Mode On.


sumber :arsip lama, lupa sumbernya

5 komentar:

  1. ini adalah tulisan salah satu teman saya, sudah lama sekali, iseng di repost ulang disini.silahkan menikmati part 3

    BalasHapus
  2. Cerita yang menarik,apa adanya dan sangat sarat hikmah.Dan tentu saja masukan yg sangat berarti trutama buat perempuan2.. Thanx ^_^

    BalasHapus
  3. hoo,, kalo begini, baru setuju sekali..

    perjalanan mencari makna sebenarnya itu seru juga ya.. ^_^

    BalasHapus
  4. curhat colongan juga nie?hehehe
    *kabur*

    BalasHapus
  5. hmm.. bukan, Put..

    curhat rampokan.. =D

    BalasHapus